Kamis, 04 April 2013



A. Pengertian Psikologi Dakwah
Secara harfiah, psikologi artinya ‘ilmu jiwa’ berasal dari kata yunani psyce ‘jiwa’ dan logos ‘ilmu’. Akan tetapi yang dimaksud bukanlah ilmu tentang jiwa. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku atau gejala-gejala tingkah laku manusia sebagai gambaran dari keadaan jiwanya. Adapun dakwah merupakan usaha mengajak manusia agar beriman kepada Allah Swt dan tunduk kepada-Nya dalam kehidupan di dunia ini, dimanapun ia berada dan bagaimana pun situasi serta kondisinya (Idris, 2002:13).
Dengan demikian, psikologi dakwah adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia yang merupakan gambaran dari kejiwaannya guna diarahkan kepada iman takwa kepada Allah Swt. Bila disederhanakan bisa juga dengan pengertian, dakwah dengan pendekatan kejiwaan.
Pengertian dari Psikologi Dakwah yaitu Psikologi dan Ilmu Dakwah. Pengetahuan tentang Ilmu Jiwa atau Psikologi diperlukan karena Psikologi Dakwah memang merupakan bagian dari Psikologi, yakni Psikologi terapan. Ilmu Dakwah juga sangat relevan karena Psikologi Dakwah ini adalah ilmu bantu bagi kegiatan dakwah. Boleh jadi pengguna ilmu ini adalah Da’I yang psikolog yang suka berdakwah.
Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang tingkah laku dan kehidupan psikis (kejiwaan) manusia. Senyatanya psikologi ini merupakan cabang pengetahuan yang masih muda atau remaja.
Psikologi sebagai psikologi filsafat menurut Plato pada tahun lebih kurang 400 SM, berarti: ilmu pengetahuan yang mempelajari sifat hakikat, dan hidup jiwa manusia (psyche= jiwa; logos= ilmu pengetahuan).
Robert S. Wood-Worth berpendapat bahwa psikologi adalah: ilmu pengetahuan yang mempelajari semua tingkah laku dan perbuatan individu, dalam mana individu tersebut dapat dilepaskan dari lingkungannya. Pelaksanaan secara ilmiah dari psikologi dilakukan dengan jalan: mengumpulkan dan mencatat secara teliti tingkah laku manusia selengkap mungkin, dan berusaha menjauhkan diri dari segala prasangka.
Sedangkan dakwah menurut epistemologi yang berasal dari bahasa Arab, kata dakwah berbentuk Isim Masdar yaitu bermakna panggilan, ajakan atau seruan.
Secara istilah dakwah berarti mendorong atau memotivasi manusia untuk melakukan kebajikan dan mengikuti petunjuk, memerintahkan mereka untuk berbuat makruf dan mencegah kepada yang munkar agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa psikologi dakwah merupakan perpaduan dari dua disiplin ilmu yang berbeda, maka untuk memberi pengertian tentang obyek psikologi dakwah ini, kita coba terlebih dahulu untuk mencoba meletakkan dasar pertemuan dengan jalan meminjam data dari kedua lapisan ilmu tersebut kemudian atas dasar itu maka kita dapat menemukan obyek pembahasan tersendiri.
Psikologi dakwah merupakan kesatuan analisis terhadap tingkah laku manusia melalui pendekatan psikologi dan dakwah geologis yang terdisipliner. Sebagai pembahasan yang mempedomani psikologi, maka psikologi dakwah ini termasuk di dalam ruang lingkup pembicaraan psikologi teoritis khusus, dan juga dalam psikologi praktis aplikaitif. (Jamaluddin Kafie, 1993 : 6-7).
Sebagai perbuatan atau aktifitas, dakwah adalah peristiwa komunikasi di mana da’I menyampaikan pesan melalui lambang-lambang kepada Mad’u, dan mad’u menerima pesan itu, mengolahnya dan kemudian meresponnya. Jadi, proses saling mempengaruhi antara da’I dan mad’u adalah merupakan peristiwa mental. Dengan mengacu pada pengertian psikologi, maka dapat dirumuskan bahwa psikologi dakwah ialah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan dan mengendalikan tingkah laku manusia yang terkait dalam proses dakwah. Psikologi dakwah berusaha menyingkap apa yang tersembunyi di balik perilaku manusia yang terlibat dalam dakwah, dan selanjutnya menggunakan pengetahuan itu untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan dari dakwah itu.

B. Ruang Lingkup Psikologi Dakwah
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa kalimat da’watun dapat diartikan dengan undangan, seruan atau ajakan, yang kesemuanya menunjukkan adanya komunikasi antara dua pihak di mana pihak pertama (da’i) berusaha menyampaikan informasi, mengajak dan mempengaruhi pihak kedua (mad’u). pengalaman berdakwah menunjukkan bahwa ada orang yang cepat tanggap terhadap seruan dakwah ada yang acuh tak acuh dan bahkan ada yang bukan hanya tidak mau menerima tetapi juga melawan dan menyerang balik.
Proses penyampaian dan penerimaan pesan dakwah itu dilihat dari sudut psikologi tidaklah sesederhana penyampaian pidato oleh da’i dan didengar oleh hadirin, tetapi mempunyai makna yang luas, meliputi penyampaian energi dalam sistem syaraf, gelombang suara dan tanda-tanda. Ketika proses suatu dakwah berlangsung, terjadilah penyampaian energy dari alat-alat indera ke otak, baik pada peristiwa penerimaan pesan dan pengolahan informasi, maupun pada proses saling mempengaruhi dari kedua belah pihak.

C. Pusat Perhatian Psikologi Dakwah
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pusat perhatian psikologi terhadap terhadap proses dakwah sekurang-kurangnya meliputi empat hal:
1. Analisa terhadap seluruh komponen yang terlibat dalam proses dakwah kepada da’I, psikologi dakwah melacak sifat-sifatnya dan mempertanyakan; mengapa da’i A berhasil mempengaruhi orang-orang yang didakwahi sedang da’i B kok tidak. Tentang mad’u (dn juga da’i) sebagai manusia, sifat-sifatnya dan faktor-faktor apa (internal dan eksternal) yang mempengaruhi perilaku komunikasinya.
2.  Bagaimana pesan dakwah menjadi stimulus yang menimbulkan respon mad’u
3. Bagaimana proses penerimaan pesan dakwah oleh mad’u, faktor-faktor apa (personal dan situasional) yang mempengaruhinya.
4. Bagaimana dakwah dapat dilakukan secara persuasive, yaitu proses mempengaruhi dan mengendalikan perilaku mad’u dengan pendekatan psikologis atau dengan menggunakan cara berpikir dan cara merasa mad’u.


D. Pendekatan Psikologi Dakwah
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa sebagai kegiatan adalah peristiwa komunikasi. Komunikasi menarik perhatian banyak disiplin ilmu, dengan pendekatan yang berbeda-beda. Sosiologi misalnya, mempelajari komunikasi dalam konteks interaksi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok. Dalam pandangan sosiolog, komunikasi adalah proses megubah kelompok manusia menjadi kelompok manusia yang berfungsi.
Menurut teori komunikasi, proses dakwah dapat dilihat sebagai kegiatan psikologis yang mencakup hal-hal sebagai berikut:
Pertama, diterimanya stimuli (rangsang) oleh organ-organ penginderaan, berupa orang, pesan, warna atau aroma.
Kedua, rangsang yang diterima mad’u berupa-rupa, warna, suara, aroma dan pesan dakwah yang disampaikan da’i da’i itu kemudian diolah di dalam benak mad’u (hadirin), dihubung-hubungkan dengan pengalaman masa lalu masing-masing dan disimpulkan juga oleh masing-masing. Meskipun pesan dakwah oleh da’i itu dimaksudkan A, tapi kesimpulan mad’u boleh jadi B, C, atau D.
Ketiga, untuk merespon terhadap ceramah atau seruan ajarkan da’i (misalnya tepuk tangan, berteriak, mengantuk atau karena bosan kemudian meninggalkan ruangan), pikiran hadirin bekerja, mengingat-ingat apa yang pernah terjadi di masa lalu. Dari memori itu para hadirin kemudian meramalkan bahwa jika hadirin melakukan tindakan X, maka da’i akan melakukan tindakan Y. jika X maka Y.
Keempat, setelah itu barulah hadirin akan merespon terhadap ajakan da’i, dan respon dari, dan respon dari hadirin itu merupakan umpan balik bagi da’i.
Sebenarnyalah bahwa dalam proses dakwah, dalam arti interaksi sosial antara da’i dan mad’u sekurang-kurangnya terkandung tiga makna:
1. Bahwa, baik da’i maupun mad’u sebenarnya terlibat dalam proses belajar, baik dari segi berpikir maupun dari sudut merasa. Mad’u belajar kepada da’i, tapi da’i juga belajar kepada umpan balik yang disampaikan oleh mad’u.
2. Antara da’i dan mad’u terjadi proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang dalam berkomunikasi (tepuk tangan lambang suka, gaduh dan ngantuk lambang penolakan)
3. Adanya mekanisme penyesuaian diri antara da’i dan mad’u. bentuk penyesuaian diri itu bisa permainan peranan,identifikasi, atau agresi. Jika hadirin ramai-ramai meninggalkan tempat acara atau berbicara sendiri atau mengantuk semua, padahal mubalighnya masih pidato di atas mimbar, maka apa yang dilakukan hadirin menurut pandangan psikologi sebenarnya merupakan penyesuaian diri dari ceramah yang tidak komunikatif.
Proses dakwah dikatakan berhasil dan efektif ketika tujuan dari dakwah itu sendiri telah tercapai. Tercapainya tujuan dakwah ada beberapa tahap, antara lain:
a. Tahap kognitif, adalah ketika seorang mad’u mampu menangkap, mengerti dan memahami apa yang disampaikan oleh seorang da’i.
b. Tahap afeksi, adalah tahap berikutnya setelah tahap kognitif. Pada tahap ini, seorang mad’u diharapkan mampu merasakan dan merenungkan secara lebih mendalam apa yang telah disampaikan oleh da’i, tidak hanya sekedar memikirkan saja
c. Tahap psikomotor, adalah tahap di mana seorang mad’u telah mampu mengaplikasikan atau menjalankan apa yang sebelumnya telah disampaikan oleh seorang da’i, dan setelah mad’u melakukan perenungan secara mendalam. Sehingga kesadaran benar-benar muncul dalam diri seorang mad’u tentang apa sesungguhnya kewajibannya terhadap Tuhannya, apa seungguhnya tugas dan kewajibannya di dunia ini agar pada saat menjalankan tugas dan amanahnya, seorang mad’u benar-benar melakukan dengan berdasarkan kesadarannya sendiri.

KESIMPULAN
Dari penjelasan tentang psikologi dakwah di atas dapat kita lihat bahwa erat sekali hubungan antara psikologi dengan dakwah.
- Karena ketika seseorang berdakwah (da’i) maka ia perlu bahkan harus mengetahui kondisi psikologis obyek yang didakwahi (mad’u) agar apa yang disampaikan nantinya dapat tersampaikan dengan baik. Karena dakwah itu sendiri merupakan suatu kegiatan yang mempengaruhi orang lain agar mau merubah tingkah lakunya dan mengikuti sesuai dengan yang disyari’aykan oleh agama (islam).
- Dalam mempengaruhi orang lain agar orang lain dapat mengikuti apa yang kita inginkan maka kita harus melakukan beberapa pendekatan, dan bisa dibilang pendekatan psikologis adalah pendekatan yang paling penting dan yang paling berpengaruh apakah nantinya orang lain (mad’u) itu dapat menerima apa yang disampaikan oleh Da’i dan menjalankannya.
- Perlu kita ketahui juga bahwasannya tujuan utama dari dakwah adalah bagaimana nantinya seorang mad’u dapat atau mau menjalankan apa yang disampaikan oleh seorang da’i, bukan hanya sekedar dipahami, direnungkan dan dirasakan saja.dan bagaimana agar seorang mad’u benar-benar menjalankan apa yang disampaikan oleh da’i dengan penuh kesadaran dari dirinya sendiri.
- Peran psikologi dakwah sangat membantu kaitannya dalam aktifitas dakwah. Kegiatan dakwah dapat berlangsung dengan lancar dan berhasil dengan baik diperlukan pengetahuan tentang psikologi dakwah. Karena kegiatan dakwah pada dasarnya adalah kegiatan penyampaian informasi dari seseorang kepada orang lain. Maka perlu mengkaji prinsip dasar psikologi komunikasi juga berhasil atau tidaknya suatu kegiatan dakwah sangat ditentukan oleh sikap mental pengetahuan juru dakwah


DAFTAR PUSTAKA

Idris, Muhammad, Jauhari 2002, Pengantar Ilmu Jiwa Umum Dengan Konfirmasi Islami. Prenduan. AL-AMIENprinting.



Tipe Kepemimpinan Dalam Islam



كلّكم راع وكلّكم مسؤل عن راعيته
“Setiap dari kalian adalah seorang pemimpin dan setiap dari kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya”
Dari pernyataan di atas bisa kita ambil beberapa kesimpulan yang sangatlah mendalam pesan filosofinya yaitu setiap manusia yang ada di muka bumi ini adalah merupakan seorang pemimpin atau khalifah fil ardi yangmana kepemimpinan itu akan kita pertanggung jawabkan di akhirat kelak, seorang pemimpin harus mempunyai beberapa sifat yang ada dalam ketauladan pada Nabi kita Muhammad SAW, seorang pemimpin yang muslim dan mu’min harus mempunyai 4 (empat) sifat utama kekuatan akhlaq Rasul dan Nabi kita Muhammad SAW yaitu : 1) Siddiq, 2) Tabligh, 3) Amanah dan 4) Fathonah.
1.      Siddiq
Seorang pemimpin dalam Islam harus mempunyai sifat Siddiq yang berarti jujur, mempunyai integritas yang tinggi dan selalu berusaha untuk tidak berbuat suatu kesalahan yang dapat menghilangkan rasa kepercayaan ummat atau kaumnya terhadapnya.
2.      Tabligh
Pemimpin harus selalu menyampaikan tentang kebenaran yang seharusnya disampaikan kepada orang yang dipimpinnya. Dia harus komunikatif dan tidak boleh menyembunyikan hal-hal yang seharusnya disampikan.
3.      Amanah
Berarti dapat dipercaya. Dapat dipercaya dalam setiap perkataan atau pun dalam setiap perbuatannya. Pemimpin yang baik dalam Islam harus selalu ‘Istiqomah dalam mengemban amanahnya’.
4.      Fathonah
Berarti cerdas, mempunyai pengetahuan/intelektual yang tinggi dan selalu bersikap professional dalam menghadapi setiap masalah.

Empat hal di atas merupakan sifat-sifat yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin Islam dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT di dunia ini secara menyambung satu sifat dengan sifat lainnya karena dari keempat sifat tersebut tidak akan terwujud seorang pemimpin yang diidam-idamkan oleh masyarakat jika ada salah satu sifat tidak ada dalam diri seorang pemimpin, baik dia sebagai pemimpin keluarga, pemimpin dalam organisas atau bagian tertentu dan pimpinan dalam kampungnya sampai seorang pemimpin sebuah negara atau bangsa.

Allah SWT berfirman :
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ 
  Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat kami. “ (Surah As Sajadah 24)
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ  لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkaNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan ..” (QS At-ttahrim 66:6).
Firman Allah SWT di atas jelas, bahwa kita sebagai seorang pemimpin organisasi atau bagian tertentu atau pemimpin keluarga nantinya, diharuskan untuk selalu mengingatkan kepada istri dan anak-anak kita agar selalu memelihara agama dan akhlaknya juga anggotanya dan stafnya. Hal ini dikarenakan di hari akhir nanti kita akan dimintai pertanggung jawaban tentang bagaimana agama dan akhlak orang-orang yang kita pimpin. Allah SWT berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. “ (Al-Ahzab , 33 :21)

Wasiat Khalifah Abu Bakar
Untuk bisa merwujudkan masyarakat dan bangsa yang berakhlak mulia dengan peradaban yang tinggi, diperlukan pemimpin dengan kekuatan akhlak yang mulia. Khalifah Abu Bakar Ash Shiddik ketika menyampaikan pidato pertamanya sebagai khalifah mengemukakan hal-hal yang mencerminkan bagaimana seharusnya akhlak seorang pemimpin. Dalam pidato itu beliau mengemukakan “Wahai sekalian manusia, kalian telah sepakat memilihku sebagai khalifah untuk memimpinmu. Aku ini bukanlah yang terbaik diantara kamu, maka bila aku berlaku baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku, tetapi bila aku bertindak salah, betulkanlah. Berlaku jujur adalah amanah, berlaku bohong adalah khianat. Siapa saja yang lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya, insya Allah. Siapa saja yang kuat diantaramu akan lemah berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, insya Allah. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajibanmu untuk taat kepadaku”.

Dari pidato Khalifah Abu Bakar di atas, kita bisa menangkap keharusan seorang pemimpin untuk memiliki delapan sifat sebagai bagian dari akhlak yang mulia.

1. Tawadhu.
Secara harfiyah tawadhu artinya rendah hati, lawannya adalah tinggi hati atau sombong. Dalam pidatonya, Khalifah Abu Bakar tidak merasa sebagai orang yang paling baik, apalagi menganggap sebagai satu-satunya orang yang baik. Sikap tawadhu bagi seorang pemimpin merupakan sesuatu yang sangat penting. Hal ini karena seorang pemimpin membutuhkan nasihat, masukan, saran, bahkan kritik. Kalau ia memiliki sifat sombong, jangankan kritik, saran dan nasihatpun tidak mau diterimannya. Akibat selanjutnya adalah ia akan memimpin dengan hawa nafsunya sendiri dan ini menjadi sangat berbahaya. Karena itu kesombongan menjadi kendala utama bagi manusia untuk bisa masuk ke dalam surga. Karena itu, Allah Swt sangat murka kepada siapa saja berlaku sombong dalam hidupnya, apalagi para pemimpin. Sejarah telah menunjukkan kepada kita bagaimana Fir’aun yang begitu berkuasa dimata rakyatnya, tapi berhasil ditumbangkan dengan penuh kehinaan melalui dakwah yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Harun as.

2. Menjalin Kerjasama.
Dalam pidato Khalifah Abu Bakar di atas, tercermin juga akhlak seorang pemimpin yang harus dimiliki yakni siap, bahkan mengharapkan kerjasama dari semua pihak, beliau mengatakan: Maka bila aku berlaku baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku. Ini berarti kerjasama yang harus dijalin antar pemimpin dengan rakyat adalah kerjasama dalam kebaikan dan taqwa sebagaimana yang ditentukan Allah Swt dalam firman-Nya:
{تعاونوا على البرو التقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان }
“Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” (QS 5:2).
Seorang pemimpin, karena kedudukannya yang tinggi dan mulia dihadapan orang lain, iapun mendapatkan penghormatan dari banyak orang, kemana pergi selalu mendapatkan pengawalan yang ketat dan setiap ucapannya didengar orang sedangkan apapun yang dilakukannya mendapatkan liputan media massa yang luas. Dari sinilah banyak pemimpin sampai mengkultuskan dirinya sehingga ia tidak suka dengan kritik dan saran. Hal itu ternyata tidak berlaku bagi Khalifah Abu Bakar, maka sejak awal kepemimpinannya, ia minta agar setiap orang mau memberikan kritik dan saran dengan membetulkan setiap kesalahan yang dilakukan, Abu Bakar berpidato dengan kalimat: Bila aku bertindak salah, betulkanlah.
Sikap seperti ini dilanjutkan oleh Umar bin Khattab ketika menjadi Khalifah sehingga saat Umar mengeluarkan kebijakan yang meskipun baik maksudnya tapi menyalahi ketentuan yang ada, maka Umar mendapat kritik yang tajam dari seorang ibu yang sudah lanjut usia, ini membuat Umar harus mencabut kembali kebijakan tersebut. Kebijakan itu adalah larangan memberikan mahar atau mas kawin dalam jumlah yang banyak, karena bila tradisi itu terus berkembang hal itu bisa memberatkan para pemuda yang kurang mampu untuk bisa menikah.
Khalifah Abu Bakar juga sangat menekankan kejujuran atau kebenaran dalam berkata maupun berbuat, bahkan hal ini merupakan amanah dari Allah Swt, hal ini karena manusia atau rakyat yang dipimpin kadangkala bahkan seringkali tidak tahu atau tidak menyadari kalau mereka sedang ditipu dan dikhianati oleh pemimpinnya. Dalam pidato saat pelantikannya sebagai khalifah, Abu Bakar menyatakan “Berlaku jujur adalah amanah, berlaku bohong adalah khianat”.
Manakala seorang pemimpin memiliki kejujuran, maka ia akan dapat memimpin dengan tenang, karena kebohongan akan membuat pelakunya menjadi tidak tenang sebab ia takut bila kebohongan itu diketahui oleh orang lain yang akan merusak citra dirinya. Disamping itu, kejujuran akan membuat seorang pemimpin akan berusaha untuk terus mencerdaskan rakyatnya, sebab pemimpin yang tidak jujur tidak ingin bila rakyatnya cerdas, karena kecerdasan membuat orang tidak bisa dibohongi.

3. Memenuhi Hak-Hak Rakyat.
Setiap pemimpin harus mampu memenuhi hak-hak rakyat yang dipimpinnya, bahkan bila hak-hak mereka dirampas oleh orang lain, maka seorang pemimpin itu akan berusaha untuk mengembalikan kepadanya. Karena itu bagi Khalifah Abu Bakar, tuntutan terhadap hak-hak rakyat akan selalu diusahakannya meskipun mereka adalah orang-orang yang lemah sehingga seolah-olah mereka itu adalah orang yang kuat, namun siapa saja yang memiliki kekuatan atau pengaruh yang besar bila mereka suka merampas hak orang lain, maka mereka dipandang sebagai orang yang lemah dan pemimpin harus siap mengambil hak orang lain dari kekuasaannya. Akhlak pemimpin seperti ini tercermin dalam pidato Khalifah Abu Bakar yang menyatakan: Siapa saja yang lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya, insya Allah.
Akhlak yang seharusnya ada pada pemimpin tidak hanya menjadi kalimat-kalimat yang indah dalam pidato Khalifah Abu Bakar, tapi beliau buktikan hal itu dalam kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya sebagai seorang pemimpin. Satu diantara kebijakannya adalah memerangi orang-orang kaya yang tidak mau bayar zakat, karena dari harta mereka terdapat hak-hak bagi orang yang miskin.

4. Memberantas Kezaliman.
Kezaliman merupakan sikap dan tindakan yang merugikan masyarakat dan meruntuhkan kekuatan suatu bangsa dan negara. Karena itu, para pemimpin tidak boleh membiarkan kezaliman terus berlangsung. Ini berarti, seorang pemimpin bukan hanya tidak boleh bertindak zalim kepada rakyatnya, tapi justeru kezaliman yang dilakukan oleh orang lain kepada rakyatnyapun menjadi tanggungjawabnya untuk diberantas. Karenanya bagi Khalifah Abu Bakar, sekuat apapun atau sebesar apapun pengaruh pelaku kezaliman akan dianggap sebagai kecil dan lemah, dalam pidato yang mencerminkan akhlak seorang pemimpin, beliau berkata: Siapa saja yang kuat diantaramu akan lemah berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, insya Allah.

5. Menunjukkan Ketaatan Kepada Allah.
Pemimpin yang sejati adalah pemimpin yang mengarahkan rakyatnya untuk mentaati Allah Swt dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, iapun harus menunjukkan ketaatan yang sesungguhnya. Namun bila seorang pemimpin tidak menunjukkan ketaatannya kepada kepada Allah dan Rasul-Nya, maka rakyatpun tidak memiliki kewajiban untuk taat kepadanya. Dalam kaitan inilah, Khalifah Abu Bakar menyatakan dalam pidatonya: Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajibanmu untuk taat kepadaku.


Dengan memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, seorang pemimpin niscaya tidak akan mau melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan degan nilai agama dan nilai kemanusian misalnya korupsi, anarkisme maupun perbuatan yang menzalimi orang lain.dia akan lebih memposisikan diri sebagai pemimpin yang membawa amanah tuhan dan manusia demi terwujudnya masyarakat madani yang makmur dan sejahtra. Selanjutnya, seorang pemimpin dituntut meningkatkan SDM-nya. Kecerdasan kreativitas bagi seseorang pemimpin adalah pemimpin yang kreatif, mampu mencari dan menciptakan trobosan-trobosan dalam mengatasi berbagai kendala atau permasalahan yang muncul.tipe pemimpin degan CQ (creativty Quoetient) yang tinggi ini mampu menghasilkan ide-ide baru (orisinil) dalam upaya meningkatkan daya saing di era globalisasi. Ia bersikap dinamis, fleksibel, komunikatif, dan aspiratif, serta tidak dapat berdiam diri, selalu mengiginkan perubahan-perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik.
Di sini, pemimpin yang intelektual juga harus berperang sebagai agen perubahan social (agent of social changes). Peran itu lebih di tujukan kepada: Pertama, menata kehidupan sosial terutama nilai/norma yang berlaku dalam masyarakat, apakah itu sudah sesuai dengan nilai/norma yang diajarkan oleh agama. Kedua, membimbing masyarakat melalui aktivitas intelektual untuk mendapatkan pemahaman yang benar. Ketiga, menauladani prilaku yang benar sebagai perbuatan dakwah untuk masyarakt di manapun berada.Keempat, menjadi pembela utama dan penolong masyarakat dalam melepaskan beban penderitaan mereka. Kelima, menyedia diri sebagai tempat konsultasi/komunikasi untuk mengalang keikut sertaan masyarakat dalam menyelesaikan proyek-proyek kemanusiaan (sosial dan spiritual)





Daftar Pustaka

Idris Djauhari, Mohammad, Sejarah Kebudayaan Islam “Khulafaaur Rasyidin”, Prenduan AL-AMIENprinting
Manajemen Kepemimpinan, Prenduan Mutiara Press, 2011
Pelatihan Kepemimpinan Dan Manajemen, Prenduan AL-AMIENprinting, 2010
Tidjani Djauhari, Mohammad, Untuk Santriku Pesan Dan Harapan, Jakarta TAJ Publising, 2008