Kamis, 04 April 2013

Tipe Kepemimpinan Dalam Islam



كلّكم راع وكلّكم مسؤل عن راعيته
“Setiap dari kalian adalah seorang pemimpin dan setiap dari kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya”
Dari pernyataan di atas bisa kita ambil beberapa kesimpulan yang sangatlah mendalam pesan filosofinya yaitu setiap manusia yang ada di muka bumi ini adalah merupakan seorang pemimpin atau khalifah fil ardi yangmana kepemimpinan itu akan kita pertanggung jawabkan di akhirat kelak, seorang pemimpin harus mempunyai beberapa sifat yang ada dalam ketauladan pada Nabi kita Muhammad SAW, seorang pemimpin yang muslim dan mu’min harus mempunyai 4 (empat) sifat utama kekuatan akhlaq Rasul dan Nabi kita Muhammad SAW yaitu : 1) Siddiq, 2) Tabligh, 3) Amanah dan 4) Fathonah.
1.      Siddiq
Seorang pemimpin dalam Islam harus mempunyai sifat Siddiq yang berarti jujur, mempunyai integritas yang tinggi dan selalu berusaha untuk tidak berbuat suatu kesalahan yang dapat menghilangkan rasa kepercayaan ummat atau kaumnya terhadapnya.
2.      Tabligh
Pemimpin harus selalu menyampaikan tentang kebenaran yang seharusnya disampaikan kepada orang yang dipimpinnya. Dia harus komunikatif dan tidak boleh menyembunyikan hal-hal yang seharusnya disampikan.
3.      Amanah
Berarti dapat dipercaya. Dapat dipercaya dalam setiap perkataan atau pun dalam setiap perbuatannya. Pemimpin yang baik dalam Islam harus selalu ‘Istiqomah dalam mengemban amanahnya’.
4.      Fathonah
Berarti cerdas, mempunyai pengetahuan/intelektual yang tinggi dan selalu bersikap professional dalam menghadapi setiap masalah.

Empat hal di atas merupakan sifat-sifat yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin Islam dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT di dunia ini secara menyambung satu sifat dengan sifat lainnya karena dari keempat sifat tersebut tidak akan terwujud seorang pemimpin yang diidam-idamkan oleh masyarakat jika ada salah satu sifat tidak ada dalam diri seorang pemimpin, baik dia sebagai pemimpin keluarga, pemimpin dalam organisas atau bagian tertentu dan pimpinan dalam kampungnya sampai seorang pemimpin sebuah negara atau bangsa.

Allah SWT berfirman :
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ 
  Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat kami. “ (Surah As Sajadah 24)
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ  لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkaNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan ..” (QS At-ttahrim 66:6).
Firman Allah SWT di atas jelas, bahwa kita sebagai seorang pemimpin organisasi atau bagian tertentu atau pemimpin keluarga nantinya, diharuskan untuk selalu mengingatkan kepada istri dan anak-anak kita agar selalu memelihara agama dan akhlaknya juga anggotanya dan stafnya. Hal ini dikarenakan di hari akhir nanti kita akan dimintai pertanggung jawaban tentang bagaimana agama dan akhlak orang-orang yang kita pimpin. Allah SWT berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. “ (Al-Ahzab , 33 :21)

Wasiat Khalifah Abu Bakar
Untuk bisa merwujudkan masyarakat dan bangsa yang berakhlak mulia dengan peradaban yang tinggi, diperlukan pemimpin dengan kekuatan akhlak yang mulia. Khalifah Abu Bakar Ash Shiddik ketika menyampaikan pidato pertamanya sebagai khalifah mengemukakan hal-hal yang mencerminkan bagaimana seharusnya akhlak seorang pemimpin. Dalam pidato itu beliau mengemukakan “Wahai sekalian manusia, kalian telah sepakat memilihku sebagai khalifah untuk memimpinmu. Aku ini bukanlah yang terbaik diantara kamu, maka bila aku berlaku baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku, tetapi bila aku bertindak salah, betulkanlah. Berlaku jujur adalah amanah, berlaku bohong adalah khianat. Siapa saja yang lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya, insya Allah. Siapa saja yang kuat diantaramu akan lemah berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, insya Allah. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajibanmu untuk taat kepadaku”.

Dari pidato Khalifah Abu Bakar di atas, kita bisa menangkap keharusan seorang pemimpin untuk memiliki delapan sifat sebagai bagian dari akhlak yang mulia.

1. Tawadhu.
Secara harfiyah tawadhu artinya rendah hati, lawannya adalah tinggi hati atau sombong. Dalam pidatonya, Khalifah Abu Bakar tidak merasa sebagai orang yang paling baik, apalagi menganggap sebagai satu-satunya orang yang baik. Sikap tawadhu bagi seorang pemimpin merupakan sesuatu yang sangat penting. Hal ini karena seorang pemimpin membutuhkan nasihat, masukan, saran, bahkan kritik. Kalau ia memiliki sifat sombong, jangankan kritik, saran dan nasihatpun tidak mau diterimannya. Akibat selanjutnya adalah ia akan memimpin dengan hawa nafsunya sendiri dan ini menjadi sangat berbahaya. Karena itu kesombongan menjadi kendala utama bagi manusia untuk bisa masuk ke dalam surga. Karena itu, Allah Swt sangat murka kepada siapa saja berlaku sombong dalam hidupnya, apalagi para pemimpin. Sejarah telah menunjukkan kepada kita bagaimana Fir’aun yang begitu berkuasa dimata rakyatnya, tapi berhasil ditumbangkan dengan penuh kehinaan melalui dakwah yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Harun as.

2. Menjalin Kerjasama.
Dalam pidato Khalifah Abu Bakar di atas, tercermin juga akhlak seorang pemimpin yang harus dimiliki yakni siap, bahkan mengharapkan kerjasama dari semua pihak, beliau mengatakan: Maka bila aku berlaku baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku. Ini berarti kerjasama yang harus dijalin antar pemimpin dengan rakyat adalah kerjasama dalam kebaikan dan taqwa sebagaimana yang ditentukan Allah Swt dalam firman-Nya:
{تعاونوا على البرو التقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان }
“Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” (QS 5:2).
Seorang pemimpin, karena kedudukannya yang tinggi dan mulia dihadapan orang lain, iapun mendapatkan penghormatan dari banyak orang, kemana pergi selalu mendapatkan pengawalan yang ketat dan setiap ucapannya didengar orang sedangkan apapun yang dilakukannya mendapatkan liputan media massa yang luas. Dari sinilah banyak pemimpin sampai mengkultuskan dirinya sehingga ia tidak suka dengan kritik dan saran. Hal itu ternyata tidak berlaku bagi Khalifah Abu Bakar, maka sejak awal kepemimpinannya, ia minta agar setiap orang mau memberikan kritik dan saran dengan membetulkan setiap kesalahan yang dilakukan, Abu Bakar berpidato dengan kalimat: Bila aku bertindak salah, betulkanlah.
Sikap seperti ini dilanjutkan oleh Umar bin Khattab ketika menjadi Khalifah sehingga saat Umar mengeluarkan kebijakan yang meskipun baik maksudnya tapi menyalahi ketentuan yang ada, maka Umar mendapat kritik yang tajam dari seorang ibu yang sudah lanjut usia, ini membuat Umar harus mencabut kembali kebijakan tersebut. Kebijakan itu adalah larangan memberikan mahar atau mas kawin dalam jumlah yang banyak, karena bila tradisi itu terus berkembang hal itu bisa memberatkan para pemuda yang kurang mampu untuk bisa menikah.
Khalifah Abu Bakar juga sangat menekankan kejujuran atau kebenaran dalam berkata maupun berbuat, bahkan hal ini merupakan amanah dari Allah Swt, hal ini karena manusia atau rakyat yang dipimpin kadangkala bahkan seringkali tidak tahu atau tidak menyadari kalau mereka sedang ditipu dan dikhianati oleh pemimpinnya. Dalam pidato saat pelantikannya sebagai khalifah, Abu Bakar menyatakan “Berlaku jujur adalah amanah, berlaku bohong adalah khianat”.
Manakala seorang pemimpin memiliki kejujuran, maka ia akan dapat memimpin dengan tenang, karena kebohongan akan membuat pelakunya menjadi tidak tenang sebab ia takut bila kebohongan itu diketahui oleh orang lain yang akan merusak citra dirinya. Disamping itu, kejujuran akan membuat seorang pemimpin akan berusaha untuk terus mencerdaskan rakyatnya, sebab pemimpin yang tidak jujur tidak ingin bila rakyatnya cerdas, karena kecerdasan membuat orang tidak bisa dibohongi.

3. Memenuhi Hak-Hak Rakyat.
Setiap pemimpin harus mampu memenuhi hak-hak rakyat yang dipimpinnya, bahkan bila hak-hak mereka dirampas oleh orang lain, maka seorang pemimpin itu akan berusaha untuk mengembalikan kepadanya. Karena itu bagi Khalifah Abu Bakar, tuntutan terhadap hak-hak rakyat akan selalu diusahakannya meskipun mereka adalah orang-orang yang lemah sehingga seolah-olah mereka itu adalah orang yang kuat, namun siapa saja yang memiliki kekuatan atau pengaruh yang besar bila mereka suka merampas hak orang lain, maka mereka dipandang sebagai orang yang lemah dan pemimpin harus siap mengambil hak orang lain dari kekuasaannya. Akhlak pemimpin seperti ini tercermin dalam pidato Khalifah Abu Bakar yang menyatakan: Siapa saja yang lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya, insya Allah.
Akhlak yang seharusnya ada pada pemimpin tidak hanya menjadi kalimat-kalimat yang indah dalam pidato Khalifah Abu Bakar, tapi beliau buktikan hal itu dalam kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya sebagai seorang pemimpin. Satu diantara kebijakannya adalah memerangi orang-orang kaya yang tidak mau bayar zakat, karena dari harta mereka terdapat hak-hak bagi orang yang miskin.

4. Memberantas Kezaliman.
Kezaliman merupakan sikap dan tindakan yang merugikan masyarakat dan meruntuhkan kekuatan suatu bangsa dan negara. Karena itu, para pemimpin tidak boleh membiarkan kezaliman terus berlangsung. Ini berarti, seorang pemimpin bukan hanya tidak boleh bertindak zalim kepada rakyatnya, tapi justeru kezaliman yang dilakukan oleh orang lain kepada rakyatnyapun menjadi tanggungjawabnya untuk diberantas. Karenanya bagi Khalifah Abu Bakar, sekuat apapun atau sebesar apapun pengaruh pelaku kezaliman akan dianggap sebagai kecil dan lemah, dalam pidato yang mencerminkan akhlak seorang pemimpin, beliau berkata: Siapa saja yang kuat diantaramu akan lemah berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, insya Allah.

5. Menunjukkan Ketaatan Kepada Allah.
Pemimpin yang sejati adalah pemimpin yang mengarahkan rakyatnya untuk mentaati Allah Swt dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, iapun harus menunjukkan ketaatan yang sesungguhnya. Namun bila seorang pemimpin tidak menunjukkan ketaatannya kepada kepada Allah dan Rasul-Nya, maka rakyatpun tidak memiliki kewajiban untuk taat kepadanya. Dalam kaitan inilah, Khalifah Abu Bakar menyatakan dalam pidatonya: Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajibanmu untuk taat kepadaku.


Dengan memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, seorang pemimpin niscaya tidak akan mau melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan degan nilai agama dan nilai kemanusian misalnya korupsi, anarkisme maupun perbuatan yang menzalimi orang lain.dia akan lebih memposisikan diri sebagai pemimpin yang membawa amanah tuhan dan manusia demi terwujudnya masyarakat madani yang makmur dan sejahtra. Selanjutnya, seorang pemimpin dituntut meningkatkan SDM-nya. Kecerdasan kreativitas bagi seseorang pemimpin adalah pemimpin yang kreatif, mampu mencari dan menciptakan trobosan-trobosan dalam mengatasi berbagai kendala atau permasalahan yang muncul.tipe pemimpin degan CQ (creativty Quoetient) yang tinggi ini mampu menghasilkan ide-ide baru (orisinil) dalam upaya meningkatkan daya saing di era globalisasi. Ia bersikap dinamis, fleksibel, komunikatif, dan aspiratif, serta tidak dapat berdiam diri, selalu mengiginkan perubahan-perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik.
Di sini, pemimpin yang intelektual juga harus berperang sebagai agen perubahan social (agent of social changes). Peran itu lebih di tujukan kepada: Pertama, menata kehidupan sosial terutama nilai/norma yang berlaku dalam masyarakat, apakah itu sudah sesuai dengan nilai/norma yang diajarkan oleh agama. Kedua, membimbing masyarakat melalui aktivitas intelektual untuk mendapatkan pemahaman yang benar. Ketiga, menauladani prilaku yang benar sebagai perbuatan dakwah untuk masyarakt di manapun berada.Keempat, menjadi pembela utama dan penolong masyarakat dalam melepaskan beban penderitaan mereka. Kelima, menyedia diri sebagai tempat konsultasi/komunikasi untuk mengalang keikut sertaan masyarakat dalam menyelesaikan proyek-proyek kemanusiaan (sosial dan spiritual)





Daftar Pustaka

Idris Djauhari, Mohammad, Sejarah Kebudayaan Islam “Khulafaaur Rasyidin”, Prenduan AL-AMIENprinting
Manajemen Kepemimpinan, Prenduan Mutiara Press, 2011
Pelatihan Kepemimpinan Dan Manajemen, Prenduan AL-AMIENprinting, 2010
Tidjani Djauhari, Mohammad, Untuk Santriku Pesan Dan Harapan, Jakarta TAJ Publising, 2008


Tidak ada komentar:

Posting Komentar