كلّكم راع وكلّكم مسؤل عن راعيته
“Setiap dari kalian adalah seorang pemimpin dan setiap dari
kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya”
Dari pernyataan di atas bisa kita ambil beberapa kesimpulan yang
sangatlah mendalam pesan filosofinya yaitu setiap manusia yang ada di muka bumi
ini adalah merupakan seorang pemimpin atau khalifah fil ardi yangmana
kepemimpinan itu akan kita pertanggung jawabkan di akhirat kelak, seorang
pemimpin harus mempunyai beberapa sifat yang ada dalam ketauladan pada Nabi
kita Muhammad SAW, seorang pemimpin yang muslim dan mu’min harus mempunyai 4
(empat) sifat utama kekuatan akhlaq Rasul dan Nabi kita Muhammad SAW yaitu : 1)
Siddiq, 2) Tabligh, 3) Amanah dan 4) Fathonah.
1.
Siddiq
Seorang
pemimpin dalam Islam harus mempunyai sifat Siddiq yang berarti jujur, mempunyai
integritas yang tinggi dan selalu berusaha untuk tidak berbuat suatu kesalahan
yang dapat menghilangkan rasa kepercayaan ummat atau kaumnya terhadapnya.
2.
Tabligh
Pemimpin harus
selalu menyampaikan tentang kebenaran yang seharusnya disampaikan kepada orang
yang dipimpinnya. Dia harus komunikatif dan tidak boleh menyembunyikan hal-hal yang
seharusnya disampikan.
3.
Amanah
Berarti dapat
dipercaya. Dapat dipercaya dalam setiap perkataan atau pun dalam setiap
perbuatannya. Pemimpin yang baik dalam Islam harus selalu ‘Istiqomah dalam
mengemban amanahnya’.
4.
Fathonah
Berarti cerdas,
mempunyai pengetahuan/intelektual yang tinggi dan selalu bersikap professional
dalam menghadapi setiap masalah.
Empat hal di atas merupakan sifat-sifat yang
seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin Islam dalam menjalankan tugasnya
sebagai khalifah Allah SWT di dunia ini secara menyambung satu sifat
dengan sifat lainnya karena dari keempat sifat tersebut tidak akan terwujud
seorang pemimpin yang diidam-idamkan oleh masyarakat jika ada salah satu sifat
tidak ada dalam diri seorang pemimpin, baik dia sebagai pemimpin keluarga,
pemimpin dalam organisas atau bagian tertentu dan pimpinan dalam kampungnya
sampai seorang pemimpin sebuah negara atau bangsa.
Allah SWT berfirman :
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً
يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“ Dan Kami jadikan di antara
mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika
mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat kami. “ (Surah As Sajadah 24)
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا
أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا
مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا
يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Wahai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkaNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan ..” (QS At-ttahrim 66:6).
Firman Allah SWT di atas jelas, bahwa kita sebagai seorang pemimpin
organisasi atau bagian tertentu atau pemimpin keluarga nantinya, diharuskan
untuk selalu mengingatkan kepada istri dan anak-anak kita agar selalu
memelihara agama dan akhlaknya juga anggotanya dan stafnya. Hal ini dikarenakan
di hari akhir nanti kita akan dimintai pertanggung jawaban tentang bagaimana
agama dan akhlak orang-orang yang kita pimpin. Allah SWT berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي
رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“ Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. “
(Al-Ahzab , 33 :21)
Wasiat Khalifah Abu Bakar
Untuk bisa merwujudkan masyarakat dan bangsa
yang berakhlak mulia dengan peradaban yang tinggi, diperlukan pemimpin dengan
kekuatan akhlak yang mulia. Khalifah Abu Bakar Ash Shiddik ketika menyampaikan
pidato pertamanya sebagai khalifah mengemukakan hal-hal yang mencerminkan
bagaimana seharusnya akhlak seorang pemimpin. Dalam pidato itu beliau
mengemukakan “Wahai sekalian manusia, kalian telah sepakat memilihku sebagai
khalifah untuk memimpinmu. Aku ini bukanlah yang terbaik diantara kamu, maka
bila aku berlaku baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku, tetapi bila aku
bertindak salah, betulkanlah. Berlaku jujur adalah amanah, berlaku bohong
adalah khianat. Siapa saja yang lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai aku
dapat mengembalikan hak-haknya, insya Allah. Siapa saja yang kuat diantaramu
akan lemah berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang
dipegangnya, insya Allah. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak
ada kewajibanmu untuk taat kepadaku”.
Dari pidato Khalifah Abu Bakar di atas, kita
bisa menangkap keharusan seorang pemimpin untuk memiliki delapan sifat sebagai
bagian dari akhlak yang mulia.
1. Tawadhu.
Secara harfiyah tawadhu artinya rendah hati,
lawannya adalah tinggi hati atau sombong. Dalam pidatonya, Khalifah Abu Bakar
tidak merasa sebagai orang yang paling baik, apalagi menganggap sebagai
satu-satunya orang yang baik. Sikap tawadhu bagi seorang pemimpin merupakan
sesuatu yang sangat penting. Hal ini karena seorang pemimpin membutuhkan
nasihat, masukan, saran, bahkan kritik. Kalau ia memiliki sifat sombong,
jangankan kritik, saran dan nasihatpun tidak mau diterimannya. Akibat
selanjutnya adalah ia akan memimpin dengan hawa nafsunya sendiri dan ini
menjadi sangat berbahaya. Karena itu kesombongan menjadi kendala utama bagi
manusia untuk bisa masuk ke dalam surga. Karena itu, Allah Swt sangat murka
kepada siapa saja berlaku sombong dalam hidupnya, apalagi para pemimpin.
Sejarah telah menunjukkan kepada kita bagaimana Fir’aun yang begitu berkuasa
dimata rakyatnya, tapi berhasil ditumbangkan dengan penuh kehinaan melalui
dakwah yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Harun as.
2. Menjalin Kerjasama.
Dalam pidato Khalifah Abu Bakar di atas,
tercermin juga akhlak seorang pemimpin yang harus dimiliki yakni siap, bahkan
mengharapkan kerjasama dari semua pihak, beliau mengatakan: Maka bila aku
berlaku baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku. Ini berarti kerjasama
yang harus dijalin antar pemimpin dengan rakyat adalah kerjasama dalam kebaikan
dan taqwa sebagaimana yang ditentukan Allah Swt dalam firman-Nya:
{تعاونوا على البرو التقوى ولا تعاونوا على الإثم
والعدوان }
“Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan
taqwa dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” (QS 5:2).
Seorang pemimpin, karena kedudukannya yang
tinggi dan mulia dihadapan orang lain, iapun mendapatkan penghormatan dari
banyak orang, kemana pergi selalu mendapatkan pengawalan yang ketat dan setiap
ucapannya didengar orang sedangkan apapun yang dilakukannya mendapatkan liputan
media massa yang luas. Dari sinilah banyak pemimpin sampai mengkultuskan
dirinya sehingga ia tidak suka dengan kritik dan saran. Hal itu ternyata tidak
berlaku bagi Khalifah Abu Bakar, maka sejak awal kepemimpinannya, ia minta agar
setiap orang mau memberikan kritik dan saran dengan membetulkan setiap
kesalahan yang dilakukan, Abu Bakar berpidato dengan kalimat: Bila aku
bertindak salah, betulkanlah.
Sikap seperti ini dilanjutkan oleh Umar bin
Khattab ketika menjadi Khalifah sehingga saat Umar mengeluarkan kebijakan yang
meskipun baik maksudnya tapi menyalahi ketentuan yang ada, maka Umar mendapat
kritik yang tajam dari seorang ibu yang sudah lanjut usia, ini membuat Umar
harus mencabut kembali kebijakan tersebut. Kebijakan itu adalah larangan
memberikan mahar atau mas kawin dalam jumlah yang banyak, karena bila tradisi
itu terus berkembang hal itu bisa memberatkan para pemuda yang kurang mampu
untuk bisa menikah.
Khalifah Abu Bakar juga sangat menekankan
kejujuran atau kebenaran dalam berkata maupun berbuat, bahkan hal ini merupakan
amanah dari Allah Swt, hal ini karena manusia atau rakyat yang dipimpin
kadangkala bahkan seringkali tidak tahu atau tidak menyadari kalau mereka
sedang ditipu dan dikhianati oleh pemimpinnya. Dalam pidato saat pelantikannya
sebagai khalifah, Abu Bakar menyatakan “Berlaku jujur adalah amanah, berlaku
bohong adalah khianat”.
Manakala seorang pemimpin memiliki kejujuran,
maka ia akan dapat memimpin dengan tenang, karena kebohongan akan membuat
pelakunya menjadi tidak tenang sebab ia takut bila kebohongan itu diketahui
oleh orang lain yang akan merusak citra dirinya. Disamping itu, kejujuran akan
membuat seorang pemimpin akan berusaha untuk terus mencerdaskan rakyatnya,
sebab pemimpin yang tidak jujur tidak ingin bila rakyatnya cerdas, karena
kecerdasan membuat orang tidak bisa dibohongi.
3. Memenuhi Hak-Hak Rakyat.
Setiap pemimpin harus mampu memenuhi hak-hak
rakyat yang dipimpinnya, bahkan bila hak-hak mereka dirampas oleh orang lain,
maka seorang pemimpin itu akan berusaha untuk mengembalikan kepadanya. Karena
itu bagi Khalifah Abu Bakar, tuntutan terhadap hak-hak rakyat akan selalu
diusahakannya meskipun mereka adalah orang-orang yang lemah sehingga
seolah-olah mereka itu adalah orang yang kuat, namun siapa saja yang memiliki
kekuatan atau pengaruh yang besar bila mereka suka merampas hak orang lain,
maka mereka dipandang sebagai orang yang lemah dan pemimpin harus siap
mengambil hak orang lain dari kekuasaannya. Akhlak pemimpin seperti ini
tercermin dalam pidato Khalifah Abu Bakar yang menyatakan: Siapa saja yang
lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya,
insya Allah.
Akhlak yang seharusnya ada pada pemimpin tidak
hanya menjadi kalimat-kalimat yang indah dalam pidato Khalifah Abu Bakar, tapi
beliau buktikan hal itu dalam kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya sebagai
seorang pemimpin. Satu diantara kebijakannya adalah memerangi orang-orang kaya
yang tidak mau bayar zakat, karena dari harta mereka terdapat hak-hak bagi
orang yang miskin.
4. Memberantas Kezaliman.
Kezaliman merupakan sikap dan tindakan yang
merugikan masyarakat dan meruntuhkan kekuatan suatu bangsa dan negara. Karena
itu, para pemimpin tidak boleh membiarkan kezaliman terus berlangsung. Ini
berarti, seorang pemimpin bukan hanya tidak boleh bertindak zalim kepada
rakyatnya, tapi justeru kezaliman yang dilakukan oleh orang lain kepada
rakyatnyapun menjadi tanggungjawabnya untuk diberantas. Karenanya bagi Khalifah
Abu Bakar, sekuat apapun atau sebesar apapun pengaruh pelaku kezaliman akan
dianggap sebagai kecil dan lemah, dalam pidato yang mencerminkan akhlak seorang
pemimpin, beliau berkata: Siapa saja yang kuat diantaramu akan lemah berhadapan
denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, insya Allah.
5. Menunjukkan Ketaatan Kepada Allah.
Pemimpin yang sejati adalah pemimpin yang
mengarahkan rakyatnya untuk mentaati Allah Swt dan Rasul-Nya. Oleh karena itu,
iapun harus menunjukkan ketaatan yang sesungguhnya. Namun bila seorang pemimpin
tidak menunjukkan ketaatannya kepada kepada Allah dan Rasul-Nya, maka rakyatpun
tidak memiliki kewajiban untuk taat kepadanya. Dalam kaitan inilah, Khalifah
Abu Bakar menyatakan dalam pidatonya: Taatlah kepadaku selama aku taat kepada
Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya,
maka tidak ada kewajibanmu untuk taat kepadaku.
Dengan memiliki kecerdasan spiritual yang
tinggi, seorang pemimpin niscaya tidak akan mau melakukan tindakan-tindakan
yang bertentangan degan nilai agama dan nilai kemanusian misalnya korupsi,
anarkisme maupun perbuatan yang menzalimi orang lain.dia akan lebih memposisikan
diri sebagai pemimpin yang membawa amanah tuhan dan manusia demi terwujudnya
masyarakat madani yang makmur dan sejahtra. Selanjutnya, seorang pemimpin
dituntut meningkatkan SDM-nya. Kecerdasan kreativitas bagi seseorang pemimpin
adalah pemimpin yang kreatif, mampu mencari dan menciptakan trobosan-trobosan
dalam mengatasi berbagai kendala atau permasalahan yang muncul.tipe pemimpin
degan CQ (creativty Quoetient) yang tinggi ini mampu menghasilkan ide-ide baru
(orisinil) dalam upaya meningkatkan daya saing di era globalisasi. Ia bersikap
dinamis, fleksibel, komunikatif, dan aspiratif, serta tidak dapat berdiam diri,
selalu mengiginkan perubahan-perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik.
Di sini, pemimpin yang intelektual juga harus
berperang sebagai agen perubahan social (agent of social changes). Peran itu
lebih di tujukan kepada: Pertama, menata kehidupan sosial terutama nilai/norma
yang berlaku dalam masyarakat, apakah itu sudah sesuai dengan nilai/norma yang
diajarkan oleh agama. Kedua, membimbing masyarakat melalui aktivitas
intelektual untuk mendapatkan pemahaman yang benar. Ketiga, menauladani prilaku
yang benar sebagai perbuatan dakwah untuk masyarakt di manapun berada.Keempat,
menjadi pembela utama dan penolong masyarakat dalam melepaskan beban
penderitaan mereka. Kelima, menyedia diri sebagai tempat konsultasi/komunikasi
untuk mengalang keikut sertaan masyarakat dalam menyelesaikan proyek-proyek
kemanusiaan (sosial dan spiritual)
Daftar Pustaka
Idris Djauhari, Mohammad, Sejarah Kebudayaan Islam “Khulafaaur Rasyidin”, Prenduan AL-AMIENprinting
Manajemen
Kepemimpinan, Prenduan Mutiara Press, 2011
Pelatihan Kepemimpinan Dan Manajemen, Prenduan AL-AMIENprinting, 2010
Tidjani
Djauhari, Mohammad, Untuk Santriku Pesan Dan Harapan, Jakarta TAJ
Publising, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar